Guru bukan Buah Catur
Guru bukan Buah
Catur
Oleh : Arif R. Saleh
“Orang Kreatif
itu Melahirkan Beberapa Karya Hebat,
Guru Kreatif
Melahirkan Banyak Orang Hebat”
-
Kurnia
Hadinata -*
Catur,
permainan strategi. Saling berhadapan dualisme pemikiran tentang “Bagaimana Menjatuhkan
Lawan”. Tidak ada kompromi. Tidak ada argumentasi mengedepankan sintesis.
Adanya hanya dua pilihan “Tesis dan Anti Tesis”. Saling berhadapan dalam
pertempuran.
Metafor
permainan catur kiranya sesuai dengan eksistensi guru. Di satu sisi, guru dicambuk
untuk berubah. Di sisi lain, pengambil kebijakan “lembek” mengeksekusi tatanan
perubahan.
Guru
dan kelas dapat dianalogikan pohon dan buah. Sedangkan media tanamnya adalah
pengambil keputusan. Jika media tanam dan pohon dapat sinergi melakukan
perubahan, sangat dimungkinkan akan berbuah lebat, manis, dan bermanfaat.
Realitas
berbeda. Guru belum sepenuhnya diberi ruang improvisasi. Khususnya di jenjang SMP
dan SMA maupun yang sederajat. Tengok ruang kelas yang ada. Minim pajangan
karya, alat peraga, media, dan sarana digital.
Kelas
yang minim pajangan dan sebangsanya ibarat sel tahanan. Munif Chatib (2015)
menyatakan bahwa penjara yang paling menyiksa itu adalah ruang kelas yang
kusam, tanpa ada hasil pajangan yang menginspirasi. Sampai di sini, mari Ibu
dan Bapak Guru tarik napas dalam-dalam.
Apakah
kondisi di atas mutlak kesalahan dan kekuranga guru? Tidak Saudara-saudara. Banyak
guru bermimpi memiliki kelas yang interaktif. Kelas yang dipenuhi pajangan
hasil karya siswa dan guru yang menginspirasi.
Kenyataannya,
mimpi guru hanyalah mimpi. Belum menjadi kenyataan. Belum bisa diwujudkan. Sebab
mereka harus pindah dari satu kelas ke kelas yang lain. Direpotkan dengan
transmigrasi antar kelas. Tidak ajeg dalam satu ruang kelas yang berfungsi
sebagai laboratorium mini. Kelas yang dapat difungsikan untuk merancang dan
mengembangkan alat peraga, media pembelajaran, dan digitalisasi pembelajaran
sesuai dengan jamannya.
Beda
dengan rekan Guru PAUD, Guru TK, Guru SD maupun yang sederajat. Mereka
mempunyai ruang gerak (kelas) untuk bebas berkreasi. Mendekorasi kelas merupakan "Panggilan Jiwa" bagi mereka. Kelas penuh pajangan hasil
karya siswa dan guru. Kelas menginspirasi. Bukan kelas penjara yang sangat
menyiksa. Kusam dan minim pajangan.
Bagaimana
solusinya Saudara-saudara? Kunci solusi ada di pimpinan. Sekali lagi pimpinan.
Kunci awal Kepala Sekolah. Gagal? Kepala Dinas. Gagal lagi? Menteri Pendidikan.
Masih gagal lagi? Presiden dengan “tangan besinya” membuka ruang kelas sebagai “Kelas
Laboratorium Guru dan Siswa”. Bahasa mudahnya “Moving Class”, tetapi bukan lagi
guru yang bergerak dan digerakkan seperti “Buah Catur”.
Ironis
memang. Hanya untuk melakukan “Revolusi Ruang Kelas” di negeri ini begitu
sulit. Apalagi masih ditemukan satu lingkungan sekolah dikelola oleh 2 sekolah
beda jenjang. Apa yang terjadi? Masih banyak temuan Pimpinan A ke kanan,
pimpinan B ke kiri. Akibat lainnya, Guru A ke kanan, Guru B ke kiri. Kapan mau maju
Indonesia, hah?!....
Pesimis? Jelas ada. Pertanyaan yang akan muncul dan sangat dimungkinkan, “Bagaimana jika tidak ada perubahan, padahal revolusi kelas sudah dilakukan?”. Gampang jawabannya, “Kita berhadapan dengan Guru yang sakit”. Anda punya alibi dan atau penilaian lain? Silahkan komentar.
Kepustakaan :
Chatib, Munif. 2015. Sekolahnya Manusia. PT. Mizan Pustaka Utama. Jakarta.
Hadinata, Kurnia. 2017. Jejak Sang Guru di Negeri Kanguru. Kabarita. Padang.
hebat 👍👍
BalasHapusSekedar membaca Pak Bahrudin.
HapusSalam takzim.
luar biasa
BalasHapusTerima kasih singgahnya Om Jay.
HapusSalam takzim.
https://www.kompasiana.com/wijayalabs/5f4673c4097f36098e10b012/gajah-mati-meninggalkan-gading-blogger-mati-meninggalkan-posting
BalasHapusOTW.... :)
HapusMantap artikelnya 👍
BalasHapus